BERKAT kecintaannya untuk meneliti senyawa-senyawa pada tanaman, Prof
Sjamsul Arifin Achmad menggagas penemuan puluhan senyawa kimia pada
tanaman di Indonesia yang bermanfaat sebagai hormon tumbuhan,
antibakteri, hingga antikanker pada manusia. Penamaan kimia
senyawa-senyawa hasil temuan itu di antaranya memakai nama Indonesia.
GURU besar kimia organik bahan alam pada Departemen Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA
ITB) ini menemukan senyawa-senyawa kimia pada tanaman dengan dibantu Dr
Euis Holisotan Hakim, Dr Yana Maolana Syah, Dr Lia Dewi Juliawaty, Didin
Mujahidin MSi, dan Drs Lukman Makmur dari Departemen Kimia FMIPA ITB.
Sejak tahun 1985, Sjamsul dan timnya melakukan penelitian terhadap
tanaman hutan di Indonesia. Ketekunan itu membuahkan hasil. Dari hasil
penelitian, mereka menemukan puluhan zat kimia yang berkhasiat.
Senyawa-senyawa itu kemudian dinamai dengan istilah Indonesia. Senyawa
kimia yang bermanfaat sebagai hormon tumbuhan yang ditemukan pada
tumbuhan medang (Lauraceae) di Gunung Pangrango, Jawa Barat, misalnya
diberi nama Indonesiol.
Ada pula senyawa yang
diberi nama Diptoindonesianin A, Diptoindonesianin B, Diptoindonesianin
C, dan seterusnya hingga Diptoindonesianin Z. Senyawa ini memiliki sifat
antibakteri dan terkandung dalam tanaman meranti (Vatica) yang banyak
terdapat di Kalimantan. Demikian pula senyawa Artoindonesianin A,
Artoindonesianin B, dan seterusnya, hingga Artoindonesianin Z yang
terbukti mengandung sifat antikanker. Senyawa ini terkandung pada
tanaman nangka- nangkaan (Artocarpus champeden) di Sumatera Barat.
Sedikitnya 300 jurnal internasional telah memuat hasil penemuan mereka.
Sjamsul ratusan kali juga diundang untuk menyampaikan gagasan dan hasil
penemuannya dalam forum-forum internasional.
"Indonesia merupakan negara peringkat kedua di dunia yang memiliki
keanekaragaman hayati terbanyak. Masih banyak potensi yang dapat digali
dari tanaman-tanaman di Indonesia," kata Sjamsul mengomentari temuannya.
DUNIA kimia organik telah ditekuni Sjamsul
selama 40 tahun. Pria kelahiran Padang, 11 April 1934, ini memiliki
keyakinan bahwa tumbuh-tumbuhan di Indonesia sangat kaya akan senyawa
kimia yang berkhasiat. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggagas
penemuan terhadap senyawa-senyawa kimia pada tumbuhan dengan melibatkan
rekan-rekannya di ITB.
Senyawa-senyawa kimia
pada tanaman, selain memiliki fungsi biologis terhadap tanaman itu
sendiri, juga berguna untuk sistem biologis pada makhluk hidup lain.
Bahkan, tanaman yang dianggap beracun sekalipun masih punya manfaat.
"Senyawa tanaman yang meracuni suatu jenis makhluk hidup bisa jadi
merupakan obat bagi makhluk hidup lain. Tergantung bagaimana kita mau
menggali dan memanfaatkan senyawa itu," papar pria yang meraih predikat
lulusan terbaik program strata 1 (S1) dari University of New South Wales
Australia pada tahun 1960.
"Indonesia memiliki
sedikitnya 40.000 jenis tanaman. Bayangkan, jika setiap jenis tanaman
menghasilkan ratusan bahan kimia, berapa banyak bahan kimia pada tanaman
yang dapat dimanfaatkan untuk makhluk hidup?" tambah pria yang langsung
mengikuti beasiswa program doktor (S3) pada University of New South
Wales Australia selepas lulus S1 itu.
Penebangan hutan secara membabi buta di Indonesia menjadi salah satu
keprihatinan Sjamsul. Penebangan hutan, selain merusak ekosistem, akan
menghancurkan potensi tanaman-tanaman yang bermanfaat bagi manusia.
"Kalau penjarahan hutan semakin marak, tidak lama lagi pabrik-pabrik
kimia yang ada di alam kita akan musnah. Yang paling dirugikan adalah
generasi mendatang karena mereka akan kehilangan sumber daya bahan kimia
yang potensial untuk keperluan hidupnya," kata dosen yang selalu
melibatkan mahasiswa dalam setiap penelitian yang dilakukannya itu.
Di samping giat meneliti, pria yang merintis pembuatan sistem
akreditasi nasional laboratorium penguji ini aktif menjalin kerja sama
dengan lembaga internasional. Ia pernah menjadi konsultan pada
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk pengajaran kimia di tingkat Asia pada tahun
1967-1973, dan anggota kelompok kerja UNESCO untuk pembentukan Federasi
Masyarakat Kimia Asia tahun 1998.
Berkat
penelitian dan pengabdiannya terhadap pengembangan kimia bahan alam, ia
juga meraih sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri. Di
antaranya, Satya Lencana Karya 30 tahun dari Presiden Republik
Indonesia. Sjamsul juga pernah dinominasikan sebagai kandidat peraih
hadiah Nobel bidang kimia pada tahun 1989 dan 1994.
DI masa pensiunnya sebagai pengajar, suami dari Kartini yang
dinikahinya pada tahun 1958 ini masih menyimpan keprihatinan terhadap
nasib guru-guru kimia di Indonesia. Kesempatan guru kimia untuk
meningkatkan pengetahuannya hingga kini masih sangat terbatas.
Akibatnya, materi pelajaran kimia tidak banyak berkembang sesuai dengan
kemajuan zaman.
Pria yang meraih gelar honorary
doctor of science dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada bulan
Oktober 2004 ini menilai bahwa guru memiliki peran sangat penting untuk
membangkitkan kesenangan dan minat siswa dalam mempelajari ilmu kimia.
Kesenangan siswa terhadap kimia hanya dapat dibangkitkan jika guru
menguasai materi yang diajarkan.
"Guru yang
mengajar secara sistematis akan merangsang siswa untuk menyukai
pelajaran. Tetapi kalau guru saja sudah tidak memahami materi yang
diajarkan, siswanya pasti semakin tidak mengerti," tuturnya.
Pengembangan minat generasi penerus terhadap ilmu kimia juga perlu
dirintis oleh perguruan tinggi. Kemajuan ilmu kimia di perguruan tinggi
akan mendorong siswa untuk menyenangi ilmu kimia, dan merangsang sekolah
menengah untuk meningkatkan kualitas pengajaran.
"Ini semua butuh proses. Tetapi kalau tidak dimulai, kapan tradisi pengembangan ilmu kimia di Indonesia akan tumbuh?" katanya.
Sumber : Kompas (28 Desember 2004)